Wednesday, December 16, 2009

Keadilan Rasulullah saw. diantara isteri-isterinya


Adapun sikap adil beliau terhadap isteri-isterinya,gambarannya seperti yang telah saya paparkan sebelumnya mengenai keadilannya dalam hal cinta, keramahan, senda gurau, dan hal menepati janji, keadilan beliau muncul karena rasa tanggung jawab, dan dari fitrahnya terhadap kebenaran dan keadilan yang Allah Swt telah berikan kepadanya, dan beliau di utus dengan kedua hal tersebut.

1. Aisyah ra. Berkata: “wahai anak saudariku, Rasullah saw. tidak pernah melebihkan sebagian di antara kami dengan yang lain dalam hal pembagian di mana beliau akan tidur pada malam harinya, beliau senantiasa membagi waktunya untuk kami semua, beliau mendekati setiap isterinya tanpa ada sifat politisir, sehingga jatah hari untuk si dia (isterinya) telah sampai maka beliau saw. bermalam di tempatnya, Saudah binti Zam’ah ra. ketika telah berusia lanjut dan berniat untuk pisah (ranjang) dengan Rasulullah saw. dia berkata Wahai Rasulullah saw. berikanlah jatah hariku untuk Aisyah ra. Kemudian Rasulullah saw. menerima hal tersebut darinya…

(perawi: Aisyah ra., derajat hadits : sakata ‘anhu (Abu Daud tidak memberikan komentar) – beliau telah menjelaskan di dalam suratnya kepada orang-orang Mekkah bahwa hadits yang beliau tidak berikan komentar adalah hadits shoolih, al Muhaddits: Abu Daud, Sumber: Sunan Abu Daud, hal/no: 2135).

2. Keadilan Rasulullah saw. terhadap isteri-isterinya tidak pernah berubah dalam keadaan apapun baik ketika beliau dalam kondisi menetap atau sedang dalam perjalanan, bahkan keadilan beliau ketika sedang dalam perjalanan sama ketika beliau tidak melakukan perjalanan, sebagaimana yang telah di kisahkan Aisyah ra. Dia berkata: “ bahwasanya Rasulullah saw. ketika hendak melakukan perjalanan beliau mengundi nama isteri-isterinya, siapa di antara mereka yang keluar namanya maka dia yang akan menemani Rasulullah saw., beliau membagi untuk para isterinya waktunya, kecuali Sauda’ binti Zam’ah ra. dia memberikan jatah harinya kepada Aisyah ra. (Isteri Rasulullah saw). beliau melakukan hal tersebut demi untuk meraih ridho Rasulullah saw.

(perawi: Aisyah, hadits sahih, muhaddits: Imam Bukhary, sumber: al jaami’ Sshahih, hal/no: 2593).

Sauda’ binti zam’a melakukan hal tersebut ketika sudah tua, dan tidak ada hasrat lagi dengan laki-laki.

3. Diantara keadilan beliau terhadap isteri-isterinya yaitu ketika beliau menikahi seorang janda maka beliau tinggal bersamanya selama tiga hari untuk menyenangkannya, kemudian Rasulullah saw. membagi harinya untuk isteri tersebut seperti bagian jatah hari isteri-isteri yang lain, sebagaimana yang di riwayatkan oleh Ummu Salamah ra. “ bahwasanya Rasulullah saw. tinggal bersamanya selama tiga hari, kemudianRasulullah saw. berkata kepadanya: “ jika kamu mau saya akan tinggal bersamamu selama tujuh hari, dan juga saya akan tinggal bersama mereka selama tujuh hari, dan jika kamu ingin saya akan tinggal bersamamu selama tiga hari, kemudian dia mengatakan: tiga hari”.

(perawi: Abu Bakar bin Abdurrahman, hadits sahih, muhaddits: Bukhary, sumber; Tarikh kabier, hal/no: 1/47).

4. Keadilan Rasulullah saw. terhadap isteri-isterinya sangat besar sehingga tidak ada yang tersia-siakan walaupun ketika beliau dalam keadaan sakit , beliau masih mengunjungi isteri-isterinya di rumah-rumah mereka sesuai dengan waktunya masing-masing, Ummul mukminin Aisyah ra. Berkata: “ ketika Rasulullah saw. sakit keras, beliau minta izin kepada para isterinya untuk di rawat di rumahku, lalu beliau di izinkan, lalu beliau keluar di antara dua laki-laki melangkahkan kedua kakinya di tanah, yaitu antara Abbas dan seorang laki-laki lain, lalu Ubaidillah ra. Mengatakan: aku mengatakan kepada Ibn Abbas ra. Apa yang telah di katakan Aisyah ra., kemudian dia mengatakan kepada saya : apakah kamu tahu siapa laki-laki yang tidak di sebutkan Aisyah ra. Tersebut? Aku menjawab: tidak, dia mengatakan : dia itu Ali bin Abi Thalib ra.

(perawi: Aisyah ra.,derajat hadits: hadits Sahih, muhaddits: Bukhary, Sumber: al Jaami’ shahih, hal/no: 2588).

5. Dalam satu riwayat, Aisyah ra. mengatakan: “bahwasanya Rasulullah saw. bertanya ketika beliau sedang sakit keras, beliau saw. mengatakan: di mana saya besok, di mana saya besok? Beliau menginginkan harinya Aisyah ra.(agar di rawat dirumahnya), kemudian para isterinya mengizinkan beliau untuk dirawat di manapun beliau kehendaki, maka beliau berada di rumahnya Aisyah ra. Sampai beliau wafat di sisinya…

(perawi : Aisyah ra., derajat hadits: sahih, Muhaddits: Bukhary, sumber: al Jaami’ Sahih, hal/no: 4450).

6. Bagaimanapun usaha keras Rasulullah saw. untuk selalu adil dengan seadil-adilnya dengan sesuai kemampuannya (dengan apa yang beliau miliki) terhadap isteri-isteri beliau, namun beliau tetap meminta ampunan kepada Allah Swt. Terhadap apa yang beliau tidak sanggupi, yang di luar dari kemampuan beliau, sebagaimana yang di katakan oleh Aisyah ra. : “Rasulullah saw. membagi waktunya dan adil, lalu beliau saw. berdo’a:” ya Allah inilah pembagianku yang sesuai yang aku miliki maka janganlah Engkau mencelaku terhadap apa yang Engkau miliki dan aku tidak memilikinya”.

(Perawi: Aisyah ra., derajat hadits: di riwayatkan oleh Hammad bin Zaid dari Abi Ayyub dari Qilaabah dengan Mursal, sumber: ilal kabier, hal/no: 156).

Yang di maksud dalam hadits tersebut adalah masalah hati sebagaiamana yang telah di tafsirkan oleh Abi Daud.

Ada yang mengatakan bahwa hal tersebut adalah: cinta dan kasih sayang sebagaimana yang telah di tafsirkan oleh Imam Tirmidzi, artinya: bahwasanya pembagian secara kongkrit dan nyata telah di lakukan oleh Rasulullah saw. dengan sesempurna mungkin karena hal ini sesuai dengan kesanggupan beliau, akan tetapi hati berada di tangan Allah Swt., sehingga cintanya terhadap Aisyah ra. lebih besar di bandingkan kepada yang lain, dan hal ini di luar dari keinginan dan kemampuan beliau saw.

Bersamaan dengan hal tersebut beliau tetap memohon kepada Allah Swt. Agar beliau tidak di cela oleh Allah Swt. Terhadap apa yang beliau tidak miliki, sementara urusan hati tidak di haruskan untuk berlaku adil di dalamnya, akan tetapi yang di wajibkan untuk berlaku adil di dalamnya ialah dalam hal pembagian jatah malam dan nafkah, Allah Swt. Berfirman:

” Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka ”. (QS. Al Mu’minuun, ayat: 60).

Diantara dalil yang menjelaskan bahwasanya hal adil terhadap isteri-isteri adalah suatu hal yang sangat besar dan penting, Rasulullah saw. menjelaskan dalam hadits yang lain beliau bersabda:

“ Barang siapa yang mempunyai dua orang isteri sementara dia lebih memperhatikan salah satunya saja, maka dia akan datang pada hari kiamat dengan badan yang miring”.

(perawi: Abu hurairah ra. Kesimpulan derajat hadits: mustaqim, Muhaddits: Ibn ‘Addy, sumber: al kaamil fi ddhua’afa, hal/no: 8/446).

Mengenai pergaulan Rasulullah saw. (terhadap isteri-isterinya) hal ini adalah suatu teladan bagi seluruh mukmin, dan mereka wajib untuk mengetahuinya dan meneladaninya, Allah Swt. Berfirman:

“ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah saw. itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS. Al Ahzaab, ayat: 21).

Sebab perbuatan Rasulullah saw. sama halnya dengan perkataan dan pengakuan beliau, sebagai bentuk syari’at dan petunjuk bagi mereka, dan suatu keharusan bagi umat islam untuk mengikuti beliau saw. selama perbuatan tersebut tidak di khususkan buat diri beliau saw. saja.

No comments: