Thursday, June 23, 2011

TAHAJJUD PENGUBAT CANCER

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgFLgCWDGDCqE14l9ktkUS47VPMYcSjbrDPfjhfjxyN-fNArKlKBmZ3A0c7ugr_MGMMK5BkweWBc4DwE2FaaBRcyC7Ei7FW7yC6UBPcwEnK2o6uS98OdkvmPia1HoELcfB3xJqVU8WEyA/s1600/5518900882_ea374772a8.jpg

Solat tahajjud ternyata tidak hanya membuat seseorang yang melakukannya mendapat tempat (maqam) terpuji disisi Allah tapi juga sangat penting bagi dunia perubatan dan kedoktoran. Munurut hasil penelitian Dr. Mohammad Soleh, dosen IAIN Surabaya, salah satu solat sunnah itu dapat membebaskan seseorang daripada serangan kanser.

Tidak percaya? "Cubalah anda rajin-rajin solat tahajjud. Jika anda melakukannya secara rutin, benar, khusyuk, dan ikhlas nescaya anda terbebas daripada infeksi dan kanser", ucap Soleh. Ayah dua anak itu bukan "tukang obat" jalanan. Dia melontarkan pernyataannya itu dalam penyelidikannya yang bejudul "Pengaruh Solat Tahajjud terhadap Peningkatan Perubahan Respon Ketahanan Tubuh Imonologi". Dengan penyelidikan itu, Soleh berhasil meraih gelar doktor dalam bidang ilmu kedoktoran pada Program Pasca Sarjana Universitas Surabaya, yang dipertahankannya. Selama ini, menurut Soleh, tahajjud di nilai hanya merupakan ibadah solat tambahan atau solat sunnah. Padahal jika dilakukan dengan khusyuk dan ikhlas, secara medis, solat itu menumbuhkan respons ketahanan tubuh (imonologi) khususnya pada imonoglobin M,G,A dan limposit-nya yang berupa persepsi dan motivasi posetif, serta dapat menambahkan kemampuan individu untuk menghadapi masalah yang dihadapi. Solat tahajjud yang dimaksudkan Soleh bukan sekadar menggugurkan status solat yang muakkadah (Sunnah mendekati wajid). Ia menitikberatkan pada sisi rutin solat, ketetapan gerakan, kekusyukkan, dan keikhlasan. Selama ini kata dia, ulama melihat masalah ikhlas ini sebagai persoalan mental.

Namun sebetulnya soal ini dapat di buktikan dengan teknologi kedoktoran. Ikhlas yang selama ini di pandang sebagai misteri, dapat dibuktikan secara kuantitatif melalui sekrasi hormon kortisol. Parameternya, lanjut Soleh, boleh di ukur dengan kondisi tubuh. Pada kondisi normal, jumlah hormon kortisol pada pagi hari normalnya antara 38-690 nml/liter. Sedang pada malam hari atau pada selepas jam 12.00 malam normalnya antara 69-345nml/liter. "Kalau jumlah hormon kortisolnya normal, boleh diindikasikan orang itu tidak ikhlas kerana tertekan. Begitu sebaliknya". Ujarnya seraya menegaskan temuannya ini yang mambantah paradigma lama yang menganggap pelajaran agama islam semata-mata dogma atau dogtrin.

Soleh mendasarkan penemuannya itu melalui satu penelitian terhadap 41 responden sisa SMU Luqman Hakim Pondok Persantren Hidayatullah, Surabaya. Drp 41 siswa itu, hanya 23 yang sanggup bertahan melakukan solat tahajjud selama sebulan penuh. Setelah di uji lagi, tinggal 19 siswa yang bertahan solat tahajjud selama 2 bulan. Solat di mulai pukul 2.00-3.30 pagi sebanyak 11 rakaat, masing-masing 2 rakaat 4 kali salam dan tiga rakaat witir. Selanjutnya, hormon kortisol mereka di ukur di tiga laboratium di Surabaya (paramita, Prodia dan klinika). Hasilnya ditemukan bahwa kondisi tubuh seseorang yang rajin bertahajjud secara ikhlas berbeda jauh dengan orang yang tidak melakukan tahajjud. Mereka yang rajin dan ikhlas bertahajjud memiliki ketahanan tubuh dan kemampuan individual untuk menghadapi masalah-masalah yang di hadapi dengan stabil. "Jadi solat tahajjud selain bernilai ibadah, juga sekaligus sarat dengan muatan psikologis yang dapat mempengaruhi kontrol kognisi. Dengan cara memperbaiki persersi dan motivasi positif dan coping yang efektif, emosi yang positif dapat meghindarkan seseorang dari strees,"
Menurut Soleh, orang yang stress(tekanan) itu biasanya mudah sekali terhadap penyakit kanser dan infeksi. Dengan solat tahajjud yang di lakukan secara rutin dan di sertai perasaan ikhlas serta tidak terpaksa, seseorang akan memiliki responimun yang baik, yang kemungkinan besar akan terhindar drp penyakit infeksi dan kanser. Dan, berdasarkan hitungan teknik medis menunjukkan solat tahajjud yang dilakukan seperi itu membuat orang mempunyai ketahanan tubuh yang baik


"Maka dirikanlah Solat kerana Tuhanmu dan berkorbanlah": (Al-Kautsar:2) Sebuah buki bahawa keterbatasan otak manusia tidak mampu mengetahui semua rahsia atas rahmat, nikmat, anugerah yang di berikan oleh ALLAH kepadanya. Haruskan kita menunggu untuk masuk ke akal kita?"


Rujukan :
http://leharos.multiply.com/journal/item/103

Monday, June 20, 2011

Segeralah Insaf


بسم الله الرحمن الرحيم

Mengapa orang menjadi jahat padahal awalnya mereka orang baik-baik? Dan mengapa pula orang menjadi jahat lebih mudah daripada kemahuan orang untuk menjadi baik? Inilah rahsia mujahadah. Basyir, yang pada mulanya muslim yang tidak terbilang buruknya, kemudian lebih memilih kepada kaum musyrikin sebagai kawan. Dia telah kalah dengan nafsunya dan terlanjur. Padahal, untuk menjadi baik orang harus berusaha sekuat tenaga. Tetapi tiba-tiba, dalam waktu sedetik kebaikan itu musnah. Seperti panas setahun dihapus hujan sehari.

Fitrah dalam jiwa manusia, kecenderungan berbuat baik dan jahat adalah simbol keabadian perang. Keduanya tak akan pernah berdamai. Seperti air dan minyak dalam sebuah wadah. Tak akan bercampur. Siapa yang mendominasi wadah itu, dialah yang memberi warna dominan.
Allah SWT berfirman, "Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaanNya) maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotori (QS asy-Syams {91}:7-10)
Kepekaan jiwa harus terus diasah dan dididik dengan keras. Sebab, ketergelinciran itu kadang mahal harganya untuk ditebus. Manusia punya perasaan yang terkadang memperturutkan perasaan itu hanya kerana harga diri. Orang yang telah terlanjur dianggap baik tiba-tiba diketahui berbuat maksiat; akan menimbulkan luka secara manusiawi sangat dalam. Dengan itu, kadang-kadang mereka tak mampu mengembalikan pada kewajaran sikap, untuk berlapang dada atas kekeliruannya. Itulah sebabnya kita menemukan tak sedikit orang baik-baik yang terjerumus pada keterlanjuran. Ia menjadi jahat dan membahayakan bagi dirinya dan orang lain.
Rasulullah s.a.w bersabda, "Takutlah kepada Allah di mana saja kamu berada dan ikutilah keburukan dengan kebaikan, pasti akan menghapusnya." (HR At-Tirmizi)
Taubat, adalah kepastian seorang hamba. Tidak mungkin manusia terhindar dari dosa. Dan sudah semestinya manusia menghapus dosanya dengan pertaubatan yang tulus. Ambillah pelajaran dari petikan riwayat hadith di atas.

Ibnu Qayyim dalam Madarij ash-Shalihin menjelaskan bahawa taubat adalah tekad untuk tidak kembali mengulang melakukan dosa, melepaskan diri darinya seketika itu dan menyesali apa yang telah dilakukan di masa lampau. Jika dosa itu berkaitan dengan hak seseorang, maka diperlukan cara lain, iaitu membebaskan diri dari dosa itu.

Sementara itu, menurut penyampaian Allah dan RasulNya, di samping meliputi hal-hal tersebut, juga meliputi tekad untuk melaksanakan apa yang diperintahkan dan mengikutinya. Jadi taubat tidak sebatas membebaskan diri dari dosa, tekad dan menyesal yang kemudian dia disebut orang bertaubat, sehingga ia mempunyai tekad yang bulat untuk mengerjakan apa yang diperintahkan dan mengikutinya.

Jadi, hakikat taubat adalah kembali kepada Allah dengan mengerjakan apa-apa yang dicintaiNya dan meninggalkan apa yang dibenciNya, atau kembali dari suatu yang dibenci kepada yang dicintai. Kembali dari yang dibenci kepada yang dicintai merupakan bahagian dari kelazimannya, dan kembali dari yang dicintai kepada yang dibenci merupakan bahagian yang lain. Kerana itu Allah mengaitkan keberuntungan yang mutlak dengan pelaksanaan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa dilarang.

Taubat dari segala kesalahan tidaklah membuat seorang terhina di hadapan Tuhannya. Hal itu justeru akan menambah kecintaan dan dekatnya seorang hamba dengan Tuhannya kerana sesungguhnya Allah sangat mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan diri. Sebagaimana firmannya, "Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri." (QS Al-Baqarah {2}: 222)

Dalam Islam, taubat tidak mengenal perantara, bahkan pintunya selalu terbuka luas tanpa penghalang dan batas. Allah selalu membentangkan tanganNya bagi hamba-hambaNya yang ingin kembali kepadaNya. Seperti terungkap dalam hadith riwayat Imam Muslim dari Abu musa Al-Asy`ari: "Sesungguhnya Allah membentangkan tanganNya di siang hari untuk menerima taubat orang yang berbuat kesalahan pada malam hari sampai matahari terbit dari barat."

Taubat merupakan akhlak utama, sebab setiap hamba tidak mungkin menghindari dosa. Segala dosa itu hanya akan terhapus dengan taubat yang nyata; ia meninggalkan maksiat itu sekarang dan bertekad untuk meninggalkan di masa datang dan menyusuli segala kekurangan di masa lampaunya. Penyesalan ini harus kuat, kerana ia merupakan jiwa taubat untuk mencapai kesempurnaan taubat.

Tuntutan taubat tidak sekadar mengucapkan dengan lidah, seperti yang difahami oleh sesetengah kalangan orang. Ia adalah perkara yang lebih besar dari itu, dan juga lebih dalam dan lebih sulit. Ungkapan lisan itu dituntut setelah ia mewujudkannya dalam tindakannya. Untuk kemudian ia mengakui dosanya dan meminta ampunan kepada Allah SWT. Sedangkan sekadar istighfar atau mengungkapkan taubat dengan lisan, tanpa janji dalam hati, itu adalah taubat para pendusta, seperti dikatakan oleh Dzun Nun al Mishri.

Hakikat taubat adalah perbuatan akal, hati dan tubuh sekaligus. Dimulai dengan perbuatan akal, diikuti oleh perbuatan hati, dan menghasilkan perbuatan tubuh. Oleh kerana itu, al-Hasan berkata: "Ia adalah penyesalan dengan hati, istighfar dengan lisan, meninggalkan perbuatan dosa dengan tubuh, dan berjanji untuk tidak akan mengerjakan perbuatan dosa itu lagi."

Imam Ghazali dalam kitabnya "Ihya Ulumiddin" mengatakan taubat merupakan sebuah makna yang terdiri dari tiga unsur: ilmu, hal dan amal. Ilmu adalah unsur yang pertama, kemudian yang kedua hal, dan ketiga amal.

Ilmu adalah keimanan dan keyakinan. Kerana iman bermakna pembenaran bahawa dosa adalah racun yang menghancurkan. Sedangkan yakin adalah penegasan pembenaran ini, tidak meragukannya serta memenuhi hatinya. Maka cahaya iman dalam hati ini ketika bersinar akan membuahkan api penyesalan, sehingga hati merasakan kepedihan. Kerana dengan cahaya iman itu ia dapat melihat bahawa saat ini, kerana dosanya itu, ia terhalang dari yang dia cintai. Seperti orang yang diterangi cahaya matahari, ketika ia berada dalam kegelapan, maka cahaya itu menghilangkan penghalang penglihatannya sehingga ia dapat melihat yang dia cintai. Dan ketika ia menyedari ia hampir binasa, maka cahaya cinta dalam hatinya bergejolak, dan api ini membangkitkan kekuatannya untuk menyelamatkan dirinya serta mengejar yang dia cintai itu. Sekian...

Merasa cukup dengan kurniaan Allah SWT

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiZQdMSbbqp-dHN5WfDgpGVEgUyBpZMlieEZhnm3ZKzcZeqB_MfvFwjgXfRAXbHnnBbyZEHoVRTk8FkNtyXME-1VJp3YI_gJGGfsSRiEDiQfcxvN7it0dHEw_BomPqcG7U0rhphbQk18lRl/s400/qanaah.jpg


بسم الله الرحمن الرحيم

Cinta pada dunia dan ingin hidup dalam kemewahan, adalah salah satu penyebab yang boleh mengakibatkan hidup menjadi tidak tenteram. Orang yang cintakan dunia akan selalu terdorong untuk memburu segala keinginannya meskipun harus menggunakan cara yang licik, curang, korupsi, riba dan sebagainya. Semua itu kerana orang yang cinta dunia tidak pernah menyedari, sesungguhnya harta hanyalah ujian. Hingga dia tidak pernah merasa cukup dengan apa yang sudah dimilikinya dan masih selalu ingin menambahnya lagi dan ini adalah sikap yang sangat jauh dari rasa syukur kepada Allah SWT.

Kita, dalam meniti kehidupan ini, harus menyedari bahawa rezeki seseorang itu tidak bergantung kepada kecerdasan akal semata, kepada segala usaha dan penat lelah, keluasan ilmu, meskipun dalam sebahagiannya itu merupakan sebab puncanya rezeki, namun bukan ukuran secara pasti. Kesedaran tentang hal ini akan menjadikan seseorang bersikap Qana'ah, terutama ketika melihat orang yang kurang bijak, pendidikannya lebih rendah dan tidak berpengalaman mendapatkan rezeki lebih banyak daripada dirinya, sehingga tidak memunculkan sikap dengki dan iri.

Dalam urusan dunia hendaklah kita melihat kepada orang yang lebih rendah, jangan melihat kepada yang lebih tinggi, sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w., “Lihatlah kepada orang yang lebih rendah dari kamu dan janganlah melihat kepada orang yang lebih tinggi darimu. Yang demikian lebih layak agar kamu tidak meremehkan nikmat Allah.” (HR.al-Bukhari dan Muslim)

Sifat Qana'ah tidak bisa diperoleh kecuali dengan mujahadah (melawan) hawa nafsu dan dengan taufik Allah,

مَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ
"Barangsiapa berusaha 'iffah (menghindar dari yang tidak terpuji) nescaya Allah menjadikannya 'iffah, dan barangsiapa yang merasa cukup nescaya Allah memberikan kecukupan kepadanya." (HR Bukhari)
Orang yang mempunyai sifat Qana'ah telah memagar hartanya sekadar apa yang dalam tangannya dan tidak menjalar fikirannya kepada yang lain.

Barangsiapa yang telah beroleh rezeki, dan telah dapat yang akan dimakan sesuap pagi sesuap petang, hendaklah tenangkan hati, jangan merasa ragu dan sepi. Kita tidak dilarang bekerja mencari penghasilan, tidak disuruh berpeluk tubuh dan malas lantaran harta telah ada, kerana yang demikian bukan qanaah, yang demikian adalah kemalasan. Bekerjalah, kerana manusia dilahirkan ke dunia untuk bekerja, tetapi tenangkan hati, yakinlah bahawa di dalam pekerjaan itu ada kalah dan menang. Jadi kita bekerja lantaran memandang harta yang telah ada belum mencukupi, tetapi bekerja lantaran untuk melenyapkan menganggur.

Maksud Qana'ah itu amatlah luas. Mempercayai dengan yakin akan adanya kekuasaan yang melebihi kekuasaan manusia, menyuruh sabar menerima ketentuan Ilahi jika ketentuan itu tidak menyenangkan diri, dan bersyukur jika dipinjamiNya nikmat, sebab entah terbang pula nikmat itu kelak. Dalam hal yang demikian disuruh bekerja, kewajipan belum berakhir. Kita bekerja bukan lantaran meminta tambahan yang telah sedia ada dan tak merasa cukup pada apa yang dalam tangan, tetapi kita bekerja, sebab prinsip orang hidup mesti bekerja.

Itulah maksud Qana'ah.

Nyatalah salah persangkaan orang yang mengatakan qanaah ini melemahkan hati, memalaskan fikiran, mengajak berpeluk tubuh. Tetapi Qana'ah adalah modal yang paling teguh untuk menghadapi penghidupan, menimbulkan kesungguhan hidup yang betul-betul mencari rezeki. Jangan takut dan gentar, jangan ragu-ragu dan syak, mantapkan fikiran, teguhkan hati, bertawakal kepada Tuhan, mengharapkan pertolonganNya, serta tidak merasa kesal jika ada keinginan yang tidak berhasil, atau yang dicari tidak dapat.

Qana'ah, adalah tiang kekayaan yang sejati. Gelisah adalah kemiskinan yang sebenarnya. Tidak dapatlah disamakan lurah dengan bukit, tenang dengan gelisah, kesusahan dan kesukaan, kemenangan dan kekalahan, putus asa dan cita-cita. Tak dapat disamakan orang yang berjaya dengan orang yang muflis.

Keadaan-keadaan yang terpuji itu terletak pada Qana'ah, dan semua yang tercela ini terletak pada gelisah. Qana'ah seharusnya merupakan sifat dasar setiap muslim, kerana sifat tersebut dapat menjadi pengendali agar tidak surut dalam berputus asa dan tidak terlalu maju dalam keserakahan.

Muslim yang mempunyai sifat Qana'ah akan selalu berlapang dada, berhati tenteram, merasa kaya dan berkecukupan, bebas dari keserakahan, kerana pada hakikatnya kekayaan dan kemiskinan terletak pada hati bukan pada harta yang dimilikinya. Bila kita perhatikan ada orang pada zahirnya nampak berkecukupan bahkan mewah, namun hatinya penuh diliputi keserakahan dan kesengsaraan, sebaliknya ada juga orang yang sepintas lalunya seperti kekurangan namun hidupnya tenang, penuh kegembiraan, bahkan masih sanggup mengeluarkan sebahagian hartanya untuk kepentingan sosial.

Nabi SAW bersabda dalam salah satu hadisnya. Dari Abu Hurairah r.a. bersabda Nabi SAW, "Bukanlah kekayaan itu banyak harta benda, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan hati." (H.R.Bukhari dan Muslim)

Demikianlah betapa pentingnya sifat Qana'ah dalam hidup, yang apabila dimiliki oleh setiap orang dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari akan mendorong terwujudnya masyarakat yang penuh dengan ketenteraman, tidak cepat putus asa, dan bebas dari keserakahan, serta selalu berfikir positif dan maju.

Maka, secara keseluruhan sifat Qana'ah antara pengawal diri ini dengan tidak membawa kita kepada pembaziran yang berlebih-lebihan atau pun membawa kita kepada nilai kedekut atau kikir. Bersederhanaan dan bersyukur adalah kunci yang membawa kepada Qana'ah dalam kehidupan kita.

Siapapun yang ingin meraih ketenangan jiwa, kedamaian hati, maka qana’ah adalah jalannya. Kerana sesungguhnya, ketenangan hati ada dalam sedikitnya keinginan. Bila kita ingin meraih ketenangan hidup, marilah kita merasa cukup terhadap pemberian dan pengaturanNya.

Sekian moga ada manfaatnya.

~Jadilah engkau orang yang bersifat Qana'ah, nescaya engkau menjadi manusia yang paling bersyukur~





Dunia

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjPLQNnJ3L7Z_Xoh6Wqixg-r4utc-wlY0glI4XMaWbQ9mBEYjFikZC2IyibiU5NUa8NMXIJTyDQYOm-hFFhzrUeykcgyA7z94Ea9GP0_LtZkSa8bJct23Urs_HpQSrzSiL4t2B8lAgnZJ34/s320/dunia+dan+syurga.jpg

بسم الله الرحمن الرحيم

Banyak sekali ayat ataupun hadith-hadith Rasulullah, yang menyatakan tentang perbandingan antara keutamaan dan kenikmatan kehidupan akhirat dan kehidupan dunia, yang mana akan didapati betapa jauhnya kemuliaan di antara keduanya, bahkan tidak sedikit akan adanya celaan terhadap kehidupan dunia. Akan tetapi celaan tersebut tidaklah ditujukan kepada siang dan malamnya, bumi tempat dunia ini berada, lautan, sungai-sungai, hutan dan yang lainnya kerana semua itu adalah nikmat Allah bagi hamba-hambaNya, tetapi celaan itu ditujukan kepada tingkah laku anak Adam dan penghuninya terhadapnya. Allah Ta'ala berfirman, "Ketahuilah sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan, senda gurau yang melalaikan, perhiasan, saling berbangga diri di antara kalian dan saling berlumba untuk memperbanyak harta dan anak." (QS Al-Hadid 57 : 20)

Dunia ini hanyalah jalan menuju syurga dan neraka, tempat manusia mengumpulkan bekalan untuk menuju kehidupan abadi, dan bertemu Allah Ta'ala Pencipta alam semesta, Yang akan menilai dan menerima bekal tersebut serta ganjarannya, jika baik maka nikmat surga yang akan ia dapatkan dan jika buruk maka azab yang pedihlah yang akan dirasakan.

Sikap Manusia Terhadap Kehidupan Dunia

Pertama. Orang-orang yang mengingkari adanya negeri pembalasan setelah alam dunia. Dalam hal ini Allah Ta'ala berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami, merasa puas dengan kehidupan dunia dan merasa tenteram dengan kehidupan itu serta orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya adalah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan." (QS Yunus 10 : 7-8)

Kedua. Orang-orang yang meyakini adanya alam pembalasan setelah kematian. Merekalah orang-orang yang mengikuti para Rasul. Dalam hal ini mereka tergolong menjadi tiga, iaitu:

a.. Zhalimun linafsih, orang yang menzalimi diri sendiri. Bagi mereka dunia adalah segalanya, terbuai oleh keindahannya yang menipu. Mereka redha, murka, setia (berwala') dan benci (bara') kerana memikir dunia semata. Mereka beriman kepada akhirat secara ikutan tetapi mereka tidak mengerti tujuan hidup di dunia, bahawa tidak lain ia adalah suatu tempat untuk berbekal menuju kehidupan berikutnya.

b.. Muqtashid, mereka adalah orang-orang yang menikmati dunia dari arah yang dibenarkan, mubah. Mereka melaksanakan seluruh yang wajib, akan tetapi membiarkan dirinya bersenang-senang dengan kenikmatan dunia. Mereka tidak mendapatkan hukuman akan tetapi derajat mereka rendah. Umar bin Khattab berkata, "Seandainya derajat syurgaku tidak dikurangi pasti aku akan menantang kalian dalam hal kehidupan dunia. Tetapi aku mendengar Allah mencela suatu kaum dalam firman-Nya yang ertinya, "Kalian sia-siakan rezeki kalian yang baik-baik hanya untuk kehidupan di dunia saja dan kalian bersenang-senang dengannya." (QS. Al-Ahqaaf 46 : 20)

c.. Sabiqun bil khairat bi idznillah. Mereka adalah orang-orang yang faham tujuan dari dunia dan beramal sesuai dengannya. Mereka mengerti bahawa Allah menempatkan hamba-hambaNya di dunia ini untuk diuji, siapa yang paling baik amalnya, yang paling zuhud kepada dunia dan paling cinta kepada akhirat. Firman Allah Ta'ala, "Dan sesungguhnya Kami jadikan apa saja yang ada dimuka bumi ini sebagai hiasan baginya, supaya kami uji siapa di antara mereka yang paling baik amalnya". (QS. Al-Kahfi 18 : 7). Golongan yang ketiga ini merasa cukup dengan mengambil dunia sekadar sebagai bekal seorang musafir.

Bahaya Mencintai Dunia

Cinta dunia akan melengahkan seseorang dari cinta kepada Allah Ta'ala dan berzikir kepadaNya, barang siapa dilengahkan oleh harta bendanya dia termasuk dalam kelompok orang-orang yang rugi. Dan hati, jika telah lalai dari zikrullah, pasti akan dikuasai syaitan. Syaitan akan menipunya sehingga ia merasa telah mengerjakan banyak kebaikan padahal ia baru melakukan sedikit saja atau bahkan tidak melakukannya sama sekali.

Abdullah bin Mas'ud pernah berkata, "Bagi semua orang dunia ini adalah tamu, dan harta itu adalah pinjaman. Setiap tamu pasti akan pergi lagi dan setiap pinjaman pasti harus dikembalikan". Ulama yang lain berkata, "Cinta dunia itu pangkal dari segala kesalahan dan pasti merosak agama ditinjau dari berbagai sisi, di antaranya:

a.. Pertama, berakibat pengagungan terhadap dunia secara berlebihan, padahal ia di sisi Allah sangatlah remeh, adalah termasuk dosa yang sangat besar mengagungkan sesuatu yang di anggap remeh oleh Allah.

b.. Kedua, Allah telah melaknat, memurkai dan membencinya, kecuali yang ditujukan untuk Allah. Barang siapa mencintai sesuatu yang telah dilaknat, dimurkai dan dibenci Allah bererti ia menyediakan diri untuk mendapat siksa dan kemurkaan dari Allah

c.. Ketiga, orang yang cinta dunia akan lebih cenderung menjadikannya sebagai tujuan akhir dari segalanya, sehinggga ia terjatuh dalam kesalahan, iaitu menjadikan sarana sebagai tujuan dan berusaha untuk mendapatkan dunia dengan amalan akhirat. Allah Ta'ala berfirman, "Barang siapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, maka Kami penuhi balasan pekerjaan-pekerjaannya di dunia dan mereka tidak akan dirugikan sedikitpun. Tetapi di akhirat tidak ada bagi mereka bahagian selain neraka. Dan sia-sialah apa-apa yang mereka perbuat di dunia dan batallah apa-apa yang mereka amalkan." (QS Huud 11 : 15-16) Demikianlah bahawa cinta dunia dapat menghalangi seseorang dari pahala, merosak amal, bahkan boleh menjadikannya orang yang pertama kali masuk neraka.

d.. Keempat, mencintai dunia akan menghalangi seorang hamba dari perkara yang bermanfaat untuk kehidupan akhirat, ia akan sibuk dengan apa yang dicintainya. Ada yang disibukkan oleh kecintaannya dari iman dan syari'at, dari kewajipan yang seharusnya ia laksanakan, atau dalam waktu yang tidak tepat, atau hanya sebatas pelaksanaan lahiriahnya saja, paling tidak kecintaanya terhadap dunia akan melalaikan hakikat kebahagiaan seorang hamba iaitu kosongnya hati selain untuk mencintai Allah dan diamnya lisan selain berzikir kepadaNya, juga ketaatan hati dan lisan dengan Rabbnya.

e.. Kelima, berlebihan mencintai dunia akan menjadikan harapan utama pelakunya ketika hidup adalah dunia itu sendiri.

f.. Keenam, orang yang berlebihan mencintai dunia adalah manusia dengan azab yang paling berat. Mereka akan disiksa di dunia, di alam barzakh, dan di akhirat. Di dunia mereka di azab dengan kerja keras untuk mendapatkannya dan persaingan dengan orang lain. Adapun di alam barzakh mereka diazab dengan perpisahan dengan kekayaan dunia dan kerugian yang nyata atas apa yang mereka kerjakan. Di sana tidak sesuatupun yang menggantikan kedudukan kecintaannya kepada dunia, kesedihan, kedukaan, dan kerugian terus-menerus mencabik-cabik ruohnya, seperti halnya cacing dan ulat melakukan hal yang sama kepada jasadnya, demikianlah pencinta dunia akan di azab di kuburnya, dan juga pada hari akhirat nanti iaitu pada hari pertemuan dengan Rabbnya. Allah Ta'ala berfirman yang ertinya, "Janganlah engkau takjub dengan harta dan anak-anak mereka. Sesungguhnya Allah menghendaki untuk menyiksa mereka dengannya dalam kehidupan dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka sedang mereka dalam keadaan kafir." (QS at-Taubah 9 : 55)

Menafsirkan ayat di atas sebahagian ulama' berkata, "Mereka diazab dengan jerih payah dan kerja keras dalam mengumpulkannya. Nyawa mereka akan melayang kerana cintanya dan mereka menjadi kafir puncanya tidak menunaikan hak Allah sehubungan dengan kemegahan dunia itu."

g.. Ketujuh, orang yang rindu dan cinta kepada dunia sehingga lebih mengutamakannya dari pada akhirat adalah makhluk yang paling tidak mengerti, bodoh, dungu dan tidak berakal. Kerana mereka lebih mendahulukan khayalan dari pada sesuatu yang hakiki, mendahulukan impian daripada kenyataan, mendahulukan kenikmatan sesaat daripada kenikmatan abadi dan mendahulukan negeri yang fana dari pada negeri yang kekal selamanya. Mereka menukar kehidupan yang kekal itu dengan kenikmatan yang sementara. Manusia yang berakal cerdas tentunya tidak akan tertipu dengan hal seperti ini.

Sesuatu yang paling mirip dengan dunia adalah baying-bayang, disangka memiliki hakikat yang tetap padahal tidak demikian. Dikejar untuk digapai, sudah pasti tidak akan pernah sampai.

Maka saudaraku, marilah kita berlumba-lumba dalam berbuat kebaikan, untuk meraih redha Allah Ta'ala, yang mana Allah Ta'ala telah menegaskan dalam firmanNya bahawa, "Dan kehidupan akhirat itu adalah lebih baik dan lebih kekal."(QS. al-A'laa 87 : 17) Jangan sampai kita tertipu oleh tipu daya syaitan yang sentiasa menggoda anak cucu adam agar tergelincir, sehingga terjerumus kepada kesesatan, penyimpangan, memperturutkan segala keinginan hawa nafsu sehingga lupa hak-hak Allah Ta'ala yang harus ditunaikan serta lupa dari kenikmatan-kenikmatan yang tak pernah terlihat oleh pandangan mata, tak pernah terdengar oleh telinga dan tak pernah terbayangkan dalam benak hati manusia. Itulah kenikmatan yang Allah Ta'ala janjikan bagi hamba-hambaNya yang mendapatkan rahmat dariNya.

Wallahu'alam.










Tuesday, June 14, 2011

Teguran Rasulullah saw. Terhadap orang yang tidak sempurna dalam mengerjakan (gerakan-gerakan) shalat.

http://jiem2.files.wordpress.com/2010/08/selam-ramadhan2.jpg

Rasulullah saw. Menegur orang yang tidak sempurna dalam melaksanakan shalat, dengan menjelaskan bahwasanya shalat yang tidak sempurna pelaksanaannya tidak akan di terima oleh Allah swt., hal ini sebagai bentuk kasih sayang Rasulullah saw. Terhadap orang tersebut (atau kepada umatnya secara umum), karena jika shalatnya tidak sempurna maka dia akan datang pada hari kiamat sementara ia tidak mendapatkan pahala shalatnya, kemudian Rasulullah saw. Menjelaskan cara pelaksanaan shalat yang baik dan sempurna.

Dari Abi Hurairah radhiyallahu'anhu ia berkata: "Pada suatu hari Rasulullah saw. Shalat bersama dengan kami, kemudian beliau saw. Bangkit dan mengatakan: Wahai anu? Kenapa kamu tidak memperbaiki shalatmu? Kenapa orang yang shalat tidak memperhatikan bagaimana ia shalat? Karena sesungguhnya hal tersebut baik untuk dirinya, sesungguhnya saya demi Allah, memperhatikan[1] orang yang ada di belakangku sebagaimana saya melihat orang yang ada di depanku[2].

Al haafidz Ibn Hajar rahimahullah mengatakan: " Sesungguhnya seyogyanya bagi seorang imam memeperingatkan manusia hal yang berkaitan dengan keadaan-keadaan orang yang shalat, apalagi jika ia melihat dari salah seorang dari mereka menyalahi hal yang utama".[3]

Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu ia berkata: Rasulullah saw. Masuk mesjid kemudian masuklah seseorang melakasanakan shalat, kemudian (setelah selesai shalat) orang itu mendatangi Rasulullah saw. Dan mengucapkan salam kepadanya, maka Rasulullah saw. Menjawab salamnya dan mengatakan: "Kembali dan ulangilah shalatmu karena kamu belum shalat". Orang itupun kembali shalat, kemudian (setelah shalat) ia mendatangi Rasulullah saw. Dan mengucapkan salam kepadanya, Rasulullah saw. Bersabda: kembalilah karena kamu belum (melaksanakan) shalat (dengan baik) (hal ini terulang tiga kali), maka orang itu berkata: "Demi yang mengutusmu dengan kebenaran, saya tidak tahu lagi selain itu cara yang benar (untuk shalat), maka ajarilah saya, Rasulullah saw. Bersabda: "Jika kamu berdiri untuk melaksanakan shalat maka bertakbirlah, kemudian bacalah (ayat) yang termudah bagimu dari al Qur'an (tentunya setelah membaca surah al Fatiha), kemudian ruku'lah sampai kamu benar-benar tenang (rata antar punggung dengan kepala), kemudian bangunlah dari ruku' sehingga kamu benar-benar beridiri dengan tegap (I'tidaal), kemudian sujudlah sampai kamu benar-benar tenang (tuma'ninah) dalam sujud, kemudian bangunlah dari sujud sampai kamu benar-benar tenang (tuma'ninah) ketika sedang duduk, lakukanlah hal tersebut dalam setiap shalat (yang kamu lakukan)". Muttafaqun 'alaih (hadits ini di sepakati oleh Bukhari dan Muslim) dan lafadznya dari periwayatan Imam Bukhari".[4]

Al Haafidz Ibn Hajar rahimahullah mengatakan: dalam hadits ini terdapat beberapa faidah, yaitu: orang yang shalat, wajib mengulangi shalatnya jika ia tidak sempurna mengerjakan salah satu dari sifat-sifat wajib shalat, ..di dalamnya terdapat memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar, mengajari dengan cara yang baik tanpa berlaku kasar, menjelaskan permasalahan dan maksud atau tujuan, orang yang tidak tahu meminta kepada yang tahu (pengajar) untuk mengajarinya".[5]

Dan beliau juga mengatakan : di dalam hadits tersebut terdapat tentang akhlak Rasulullah saw. Yang indah dan keramahannya dalam berinteraksi dengan orang lain, di dalamnya terdapat faidah memperlambat penjelasan (kepada yang tidak tahu) di majlis (artinya di majlis tersebut akan tetapi tidak boleh jika sampai keluar dari majlis tersebut apalagi sampai di perantarai oleh beberapa hari) untuk kemaslahatan.

Telah di persoalkan mengenai taqrir (ketetapan) Rasulullah saw. Terhadap shalat yang di lakukan orang tersebut, sementara ia keliru dalam melaksanakan shalat karena tidak menyempurnakan kewajiban-kewajiban di dalam shalat, hal ini di jawab oleh al Maarizi: hal tersebut adalah bentuk istidraaj (pendekatan secara berangsur-angsur) terhadap perbuatannya (yang tidak di ketahuinya) selama berulang kali, karena boleh jadi ia sedang lupa (sehingga ia melakukan shalat tidak dengan gerakan-gerakannya secara sempurna), dan boleh jadi ia bisa ingat kembali dan melakukukannya (sifat cara shalat yang benar) tanpa belajar lagi atau tanpa di ajari, dan hal ini bukan berarti (Rasulullah saw.) menyetujui kesalahannya akan tetapi untuk memperbaiki kesalahannya".

Imam an Nawawi rahimahullah mengatakan: 'Sesungguhnya beliau saw. Tidak mengajarinya di permulaannya, agar lebih di ketahui oleh orang tersebut dan yang lainnya tentang tata cara shalat yang benar".

Ibn al Jauzi rahimahullah mengatakan: "boleh jadi pengulang-ulangan perintah tersebut adalah untuk keagungan dan kebesaran hal tersebut terhadapnya, dan beliau saw. Melihat bahwasanya waktu (shalat) masih ada, serta beliau saw. Ingin membangkitkan daya kecerdasan (orang tersebut) terhadap (hal-hal yang wajib) yang ia tinggalkan (dalam shalat)".[6]

Dari Nu'man bin Basyir radhiyallahu'anhumaa ia mengatakan: Rasulullah saw. Meluruskan barisan shaf kami, sehingga seolah-olah beliau saw. sedang meluruskan anak panah, sehingga beliau melihat bahwasanya kami telah memahaminya, kemudian pada suatu hari beliau saw. keluar, lalu beliau berdiri, sampai ketika beliau akan bertakbir (takbiratul ihram), beliau melihat seseorang yang dadanya (badannya) terlalu maju ke depan (melewati) barisan atau shaf, maka Rasulullah saw. bersabda: wahai hamba Allah! Apakah kalian akan meluruskan shaf atau barisan kalian (dalam shalat), atau Allah swt. Akan membuat kalian saling berselisih". Muttafaqun 'alaih dan lafadz ini adalah lafadz Muslim.

Dari Nu'man bin Basyir radhiyallahu'anhu Rasulullah saw. mengarahkan wajahnya menghadap orang-orang, kemudian beliau saw. bersabda: luruskanlah saf (barisan) kalian (hal ini di ucapkan oleh beliau saw.) sebanyak tiga kali, demi Allah apakah kalian akan meluruskan saf kalian atau Allah swt. Akan menjadikan hati kalian saling berselisih". Berkata (perawi): maka saya melihat seseorang menempelkan bahunya ke bahu kawannya, begitupun ia merapatkan lututnya dengan lutut kawannya, dan juga mata kakinya dengan mata kaki temannya (orang yang shalat di sampingnya)". Di keluarkan oleh Abu Daud.[7]

Dari Abi Qatadah radhiyallahu'anhu ia mengatakan: ketika kami sedang shalat bersama dengan Rasulullah saw. tiba-tiba beliau saw. mendengar kegaduhan atau hiruk pikuk orang-orang, maka ketika beliau saw. selesai dari shalatnya, beliau bertanya: apa yang kalian inginkan? Mereka menjawab: kami terburu-buru untuk shalat, beliau saw. menjawab: jangan kalian melakukan (hal tersebut), jika kalian datang untuk shalat maka datanglah dengan tenang (tanpa hiruk pikuk atau gaduh), (bilangan raka'at) mana yang kalian temukan maka ikutlah shalat, sementara (jumlah bilangan raka'at shalat) yang telah terlewatkan oleh kalian maka sempurnakanlah". Muttafaqun 'alaih. [8]

`Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu'anhu ia mengatakan: ketika kami telah selesai shalat bersama dengan Rasulullah saw. maka kami mengatakan 'Assalamu 'alaikum warahmatullah (ke kanan) dan "Assalamu 'alaikum wa rahmatullah" (ke kiri), dan tangannya (kanan dan kiri) juga berisyarat ke dua sisi tersebut (kanan dan kekiri di saat mengucapkan salam), maka Rasulullah saw. bertanya: apa yang di isyaratkan oleh tangan kalian itu, seolah-olah seperti ekor kuda syaqar[9], sesungguhnya cukuplah kalian meletakkan tangan kalian di atas paha kalian (tanpa melakukan gerakan tersebut), kemudian mengucapkan salam ke saudaranya yang ada di sisi kanan dan yang di sisi kirinya". Hadits di keluarkan oleh Imam Muslim.[10]

Sebuah hadits dari Hasan ia mengatakan bahwasanya Aba Bakrah radhiyallahu'anhu ia mendapati Rasulullah saw. sedang ruku' maka iapun ikut ruku' sebelum sampai (ikut bergabung) ke dalam saf atau barisan (orang-orang yang sedang shalat), kemudian hal tersebut di ceritakan ke Rasulullah saw. maka beliau saw. menjawab: zaadaka llahu hirshan , janganlah kamu ulangi (perbuatan tersebut)". Di keluarkan oleh Imam Bukhari.



[1] Kalimat (saya melihat orang yang berada di belakangku) Imam an Nawawi mengatakan dalam Syarhu muslim (4/149-150): artinya Allah swt. Telah menciptkan buat Muhammad saw. sebuah (penglihatan) yang terdapat di tengkuknya atau di punggungya, hal-hal yang di luar kebiasaan manusia biasa ini telah sering terjadi pada diri Rasulullah saw. (sebagai bentuk mukjizat), dan hal ini tidak tertolak oleh akal dan syar'I, …al Qaadi mengatakan: Imam Ahmad mengatakan: Jumhurul ulama berpendapat bahwa penglihatan ini adalah penglihatan dengan mata secara nyata.

Al haafidz Ibn hajar mengatakan dalam Fathul baari (1/514) yang benar hal ini di nyatakan sesuai dengan bentuk dzahirnya yaitu bahwasanya penglihatan ini adalah penglihatan secara nyata atau hakiki, yang (Allah swt.) khususkan buat Rasulullah saw. dan hal ini adalah termasuk di luar kebiasaan manusia biasa. Oleh karena itu penulis kitab (Imam Bukhari) mengeluarkan hadits ini di "tanda-tanda ke nabian", demikianpula yang di kutip dari Imam Ahmad dan selainnya.

[2] Di keluarkan oleh Imam Muslim di kitab Shahihnya (1/319/ hadits 423).

[3] Fathul Baari Syarhu Shahihul Bukhari oleh Ibn Hajar: (1/45).

[4] Di keluarkan oleh Imam Bukhari di Shahihnya (Fathul Baari kitab tentang al idzn (2/776/ hadits 793) dan Shahih Muslim di pembahasan mengenai shalat (1/298/ hadits 397).

[5] Fathul Baari Syarhu Shahih Bukhari oleh Ibn Hajar (2/280).

[6] Sumber yang sama dengan no: 5 (2/281).

[7] Di keluarkan oleh Imam Bukhari di Shahihnya pada pembahasan mengenai adzan (2/206-207/ hadits 717), dan Shahih Muslim di pembahasan mengenai Shalat (1/224/ hadits 346).

[8] Bukhari di Shahihnya, Fathul baari (2/211) hadits ini Mu'allaq dan mempunyai Syawaahid (pendukung) dari hadits yang di riwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu'anhu yang di keluarkan oleh Bukhari (2/211/725), dan Muslim di Shahihnya (1/324/ hadits 443).

[9] Di keluarkan oleh Imam Bukhari di Shahihnya, Fathul Baari pada pembahasan mengena adzan (2/116/ hadits 635), dan Shahih Muslim di al Masaajid (1/421/ hadits 602), dan Ahmad bin Hanbal (306).

[10] Di keluarkan oleh Imam Muslim di shahihnya kitab tentang shalat (1/322/ hadits 430), Sunan Abi Daud di kitab tentang shalat (1/602,608/ 998,999,1000/) dan Sunan An Nasaa'I di pembahasan mengenai sujud sahwi (3/4-5).

Larangan Rasulullah saw. dari memaksakan diri dan melampaui batas dalam beridabah

http://t0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQ-0z8gr50WtOxl4N4dR-SogmEifFHiG4IFbFEV-mg_P1AgO-Y-GA

Diantara keramahan dan kelembutan Rasulullah saw. terhadah umatnya ialah cara beliau dalam menasihati dan mengajari mereka, misalnya beliau mengumpulkan mereka dan menasihatinya mengenai kemungkaran yang di lakukan oleh sebagian dari mereka, hal ini adalah bentuk teguran dan pengingkaran terhadap tindakan kekeliruan yang di lakukan oleh sebagian dari mereka, terkadang Rasulullah saw. menyinggung tindakan mereka dengan cara yang halus atau dengan isyarat, seperti sabdanya: "Ada apa dengan kaum tersebut". Atau mengapa keadaan kaum itu seperti itu?.

Sebagaimana yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam kitab shahihnya masing-masing, sebuah hadits dari periwayatan Aisyah radhiyallahu'anha ia mengatakan: "Rasulullah saw. melakukan sesuatu dan memberikan keringanan di dalamnya, kemudian kaum menjauhkan diri dari hal tersebut, dan hal tersebut telah sampai kepada Rasulullah saw. maka beliau saw. berpidato dan memuji Allah swt.:"mengapa kaum menjauh (atau memandang rendah) dari sesuatu yang saya perbuat, demi Allah swt. Sesungguhnya saya leibh mengetahui dari mereka karena Allah swt., dan saya lebih khusyu' di bandingkan dengan mereka".[1] Muttafaqun 'alaih (di sepakati oleh Bukhari dan Muslim).

Dari Anas bin Malik radhiyallahu'anhu ia mengatakan: "Telah datang tiga orang menemui isteri Rasulullah saw.mereka menanyakan mengenai ibadah Rasulullah saw. kemudian ketika mereka telah di beritahukan mengenai ibadah Rasulullah saw. maka mereka (seolah-olah) sangat sedikit ibadahnya (tidak ada bandingannya dengan ibadah Rasulullah saw.), maka mereka mengatakan: bagaimana dengan kita jika di bandingkan dengan (ibadah) Rasulullah saw. sementara Allah swt. Telah mengampuni dosa beliau yang terdahulu dan yang akan datang, salah seorang diantara mereka mengatakan: saya akan menghidupkan malam seluruhnya (shalat malam tanpa tidur), yang lain mengatakan: saya akan berpuasa sepanjang masa dan tidak akan berbuka, dan yang lain mengatakan: saya akan menghindari wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya, kemudian Rasulullah saw. datang dan bertanya: apakah kalian yang mengatakan begini dan begini? Sesungguhnya saya lebih bertakwa dan lebih khusyu' kepada Allah swt. Di bandingkan kalian, akan tetapi saya tetap berpuasa dan saya juga berbuka, saya juga shalat dan istirahat (berbaring), dan saya juga menikahi perempuan, maka barangsiapa yang tidak suka dengan sunnahku maka dia bukan dari umatku".[2] Muttafaqun 'alaih (di sepakati oleh Bukhari dan Muslim).

Dalam Fathul Baari Ibn Hajar rahimahullah mengatakan: "yang di maksud dengan kata "Sunnah" ialah jalan atau cara (Rasulullah saw.), sementara kalimat raghabah 'ani ssyai' ialah berpaling darinya atau tidak mengikutinya (kalimat ini adalah penggalan dari teks asli hadits yang tertera di atas), maksudnya ialah barang siapa yang tidak mengikuti jalanku (yaitu jalan Rasulullah saw.) dan mengambil jalan selainku, maka ia bukan dari umatku, kejadian tersebut berisyarat tentang (mereka) yang memilih jalan Rahbaaniyah (kerahiban atau kependetaan)…sementara jalan Rasulullah saw. adalah jalan yang penuh dengan ketoleransian dan keumurahan hati, beliau saw. berbuka agar kuat berpuasa kembali, beliau tidur atau istirahat agar kuat untuk beribadah atau shalat malam, dan beliau saw. menikah untuk mengontrol syahwatnya (kepada perempuan) serta untuk mensucikan dirinya dan memperbanyak keturunan.

Teguran yang beliau saw. lakukan secara langsung kepada tiga orang tersebut yang terdapat dalam hadits menandakan bahwa betapa besar perhatian beliau saw. terhadap (umatnya) khususnya kepada mereka bertiga, dan membantu mereka agar tidak bosan atau jenuh dan berubah keadaannya, maka diantara keramahan dan kelembutan Rasulullah saw. terhadap mereka ialah beliau saw. menjelaskan kepada mereka mengenai cara atau jalan menuju surga, dan jika mereka mengikutinya mereka akan memasukinya (surga), dengan hal ini maka sempurnalah tujuan atau maksud, dan tercapailah hal yang di inginkan dari melakukan ibadah.

Diantara keramahan dan kelembutan Rasulullah saw. terhadah umatnya ialah cara beliau dalam menasihati dan mengajari mereka, misalnya beliau mengumpulkan mereka dan menasihatinya mengenai kemungkaran yang di lakukan oleh sebagian dari mereka, hal ini adalah bentuk teguran dan pengingkaran terhadap tindakan kekeliruan yang di lakukan oleh sebagian dari mereka, terkadang Rasulullah saw. menyinggung tindakan mereka dengan cara yang halus atau dengan isyarat, seperti sabdanya: "Ada apa dengan kaum tersebut". Atau mengapa keadaan kaum itu seperti itu?.

Sebagaimana yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam kitab shahihnya masing-masing, sebuah hadits dari periwayatan Aisyah radhiyallahu'anha ia mengatakan: "Rasulullah saw. melakukan sesuatu dan memberikan keringanan di dalamnya, kemudian kaum menjauhkan diri dari hal tersebut, dan hal tersebut telah sampai kepada Rasulullah saw. maka beliau saw. berpidato dan memuji Allah swt.:"mengapa kaum menjauh (atau memandang rendah) dari sesuatu yang saya perbuat, demi Allah swt. Sesungguhnya saya leibh mengetahui dari mereka karena Allah swt., dan saya lebih khusyu' di bandingkan dengan mereka".[1] Muttafaqun 'alaih (di sepakati oleh Bukhari dan Muslim).

Dari Anas bin Malik radhiyallahu'anhu ia mengatakan: "Telah datang tiga orang menemui isteri Rasulullah saw.mereka menanyakan mengenai ibadah Rasulullah saw. kemudian ketika mereka telah di beritahukan mengenai ibadah Rasulullah saw. maka mereka (seolah-olah) sangat sedikit ibadahnya (tidak ada bandingannya dengan ibadah Rasulullah saw.), maka mereka mengatakan: bagaimana dengan kita jika di bandingkan dengan (ibadah) Rasulullah saw. sementara Allah swt. Telah mengampuni dosa beliau yang terdahulu dan yang akan datang, salah seorang diantara mereka mengatakan: saya akan menghidupkan malam seluruhnya (shalat malam tanpa tidur), yang lain mengatakan: saya akan berpuasa sepanjang masa dan tidak akan berbuka, dan yang lain mengatakan: saya akan menghindari wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya, kemudian Rasulullah saw. datang dan bertanya: apakah kalian yang mengatakan begini dan begini? Sesungguhnya saya lebih bertakwa dan lebih khusyu' kepada Allah swt. Di bandingkan kalian, akan tetapi saya tetap berpuasa dan saya juga berbuka, saya juga shalat dan istirahat (berbaring), dan saya juga menikahi perempuan, maka barangsiapa yang tidak suka dengan sunnahku maka dia bukan dari umatku".[2] Muttafaqun 'alaih (di sepakati oleh Bukhari dan Muslim).

Dalam Fathul Baari Ibn Hajar rahimahullah mengatakan: "yang di maksud dengan kata "Sunnah" ialah jalan atau cara (Rasulullah saw.), sementara kalimat raghabah 'ani ssyai' ialah berpaling darinya atau tidak mengikutinya (kalimat ini adalah penggalan dari teks asli hadits yang tertera di atas), maksudnya ialah barang siapa yang tidak mengikuti jalanku (yaitu jalan Rasulullah saw.) dan mengambil jalan selainku, maka ia bukan dari umatku, kejadian tersebut berisyarat tentang (mereka) yang memilih jalan Rahbaaniyah (kerahiban atau kependetaan)…sementara jalan Rasulullah saw. adalah jalan yang penuh dengan ketoleransian dan keumurahan hati, beliau saw. berbuka agar kuat berpuasa kembali, beliau tidur atau istirahat agar kuat untuk beribadah atau shalat malam, dan beliau saw. menikah untuk mengontrol syahwatnya (kepada perempuan) serta untuk mensucikan dirinya dan memperbanyak keturunan.

Teguran yang beliau saw. lakukan secara langsung kepada tiga orang tersebut yang terdapat dalam hadits menandakan bahwa betapa besar perhatian beliau saw. terhadap (umatnya) khususnya kepada mereka bertiga, dan membantu mereka agar tidak bosan atau jenuh dan berubah keadaannya, maka diantara keramahan dan kelembutan Rasulullah saw. terhadap mereka ialah beliau saw. menjelaskan kepada mereka mengenai cara atau jalan menuju surga, dan jika mereka mengikutinya mereka akan memasukinya (surga), dengan hal ini maka sempurnalah tujuan atau maksud, dan tercapailah hal yang di inginkan dari melakukan ibadah.

Rujukan:

http://www.rasoulallah.net/v2/document.aspx?lang=indo&doc=260


Wednesday, June 8, 2011

Mengapa Rasulullah SAW Tersenyum

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgoJgP2ujmQR7bo7AziwRaaMxAEXK8PKFIQLXkVxXvjqT1-32vf7_zcGGSeYh0htMaQLyofaQnrlUaGJAC9TJfL2KDLIsSoBrq9fqhXY88YxKe1Mpi9LBJ_7Hjkv2Q_MZMWqtceOg56XMgF/s1600/Madyan.jpg

Mengapa Rasulullah SAW Tersenyum
Ditulis oleh Agung Kusuma, BIFB (Hons)

Rasulullah SAW adalah contoh pribadi yang agung, pribadi yang mulia. Beliau diutus sebagai rahmatan lil’alamin, rahmat bagi semesta alam. Beliau adalah penutup para Nabi dan contoh bagi semua manusia.

Hal yang menarik adalah kenapa Rasulullah selalu tersenyum, walaupun beliau dihina dan dicaci maki oleh kaumnya, bahkan ingin dicelakakan oleh sebagian orang. Artikel ini akan membahas panjang lebar tentang hal menarik ini.
Pertama, Rasulullah mengemban misi yang besar. Masih banyak hal-hal yang harus difikirkan dan diselesaikan dihadapannya. Masalah ummat dan penyebaran agama yang menguras banyak tenaga dan waktu harus dilaksanakannya demi tercapainya hal besar tersebut. Sungguh remeh apabila Beliau goyah jika ada hal kecil yang menghambat perjuangannya. Di depan mata Beliau terdapat berjuta planning dan harapan yang harus dicapainya untuk jangka waktu yang Beliau rancang. Harapan dan cita-cita harus Beliau tuntaskan bersama para sahabat-sahabatnya. Apabila masalah kecil itu menggetarkan langkahnya maka misi agung itu tidak akan tercapailah seperti sekarang ini. Harapan dan cita-cita Beliau mengalahkan berjuta cercaan dan hinaan yang dihujamkan kepada insan yang mulia ini.

Kedua, Rasulullah saw adalah pribadi yang agung. Seorang yang berkepribadian agung mempunyai jiwa yang besar. Seorang berjiwa besar akan mudah memaafkan kesalahan orang lain, karena hatinya yang luas bagaikan samudra. Seperti dikutip dari perkataan Aa’ Gym jiwa orang yang besar ibarat sebuah lapangan yang amat luas, apabila terdapat ular dan binatang berbahaya lainnya masih ada lahan lapangan yang lainnya untuk bergerak, sebaliknya jiwa orang yang kerdil akan merasakan sesak apabila terdapat sedikit saja gangguan bagi dirinya, orang lebih sedikit dari dia adalah cobaan baginya, tersinggung sedikit adalah besar baginya, dan masalah kecil ia besar-besarkan. Rasulullah adalah contoh tauladan dalam jiwa yang agung. Beliau adalah orang yang pemaaf dan mudah memaafkan. Beliau marah apabila hak Allah di injak-injak. Dalam suatu riwayat dikatakan dari Aisyah ra: “Ketika aku meletakkan gambar diruanganku aku melihat wajah Rasulullah merah padam dan beliau berkata: “Wahai Aisyah, orang yang paling berat siksaannya pada hari kiamat adalah orang yang membuat sesuatu menyerupai makhluk Allah.” (H.R. Muttafaqq Alaih) Begitulah ketegasan Rasulullah dalam menegakkan hak-hak Allah. Apabila Beliau dihina Beliau bersabar dan apabila hak Allah dipermainkan maka wajah beliau merah padam.

Ketiga, senyum adalah lambang pribadi yang optimis dan positif. Rasulullah adalah insan yang mulia. Manusia terbaik dimuka bumi ini sejak adanya. Beliau adalah pemimpin agung. Mustahillah seorang pemimpin itu mencontohkan kepesimisan. Beliau ingin mencontohkan keoptimisan dalam menggapai cita-cita bagi seluruh ummatnya. Karena Beliau ingin ummatnya optimis menggapai cita-cita mereka yang mulia. Dan juga senyum melambangkan pribadi yang positif, tidak ada gunanya marah apabila Beliau membalas kejahatan orang Yahudi yang melukainya, karena itu akan membuang tenaga Beliau saja dan masih banyak tugas Beliau di hadapan dan akan sia-sia untuk suatu perkara yang remeh. Apabila kita marah sebenarnya yang rugi adalah kita. Termakan tenaga dan waktu untuk memikirkan batu kerikil-batu kerikil tersebut. Oleh karana itu Allah mengatakan dalam Kitab-nya “Katakanlah wahai Muhammad: “Matilah dengan kemarahan kalian” bagi ‘Bithanatan Min Dunikum’ yaitu golongan yang apabila kalian terkena musibah mereka akan merasakan senang dan apabila kalain mendapatkan kenikmatan hati mereka akan sakit, maka marah adalah penyebab yang tepat untuk kematian mereka. (QS. Ali Imran:118-120)

Begitulah suri teladan dalam diri Rasulullah, seorang insan yang agung. Demikianlah tatkala seorang buta Yahudi di pinggiran kota Madinah mencaci maki Beliau, mengatakan Beliau gila, tetapi Beliau dengan santun menyuapkan kepalan nasi ke mulut orang tua tersebut. Juga kisah seorang Yahudi yang sengaja menagih uangnya lebih dari waktu yang mereka janjikan, yang dia sengaja membuat Beliau marah, tetapi beliau hanya tersenyum. Dan, juga kisah seorang Yahudi yang selalu meludahkannya pada setiap pagi, tetapi disaat ia sakit ternyata Rasulullah-lah orang yang pertama kali mengunjunginya. Sungguh Muhammad Engkau berkepribadian agung.
Penulis adalah:
Mahasiswa Program Magister Keuangan Islam
International Islamic University Malaysia

Tubuh Sebagai Perakam Perbuatan Kita

http://t0.gstatic.com/images?q=tbn:KpB0FRpDuAv9zM:http://lonewolflibrarian.files.wordpress.com/2009/05/conference.jpg

Tubuh Sebagai Perekam Perbuatan Kita
Ditulis oleh Ustadz Arif Hidayat, Lc

Salah satu hal yang sangat berperan dalam upaya kita meningkatkan takwa pada Allah SWT adalah mengingat mati dan kehidupan di akhirat. Bahwa semua makhluk tanpa kecuali akan meninggalkan dunia yang sementara ini. Entah nanti, atau besok, seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan, kita semua pasti akan mati. كل نفس ذائقة الموت (Setiap makhluk hidup pasti akan mati). Dan kita, sebagai umat Islam memang diperintahkan untuk sering-sering ingat mati agar hidup kita menjadi baik. Nabi bersabda: أكثروا ذكر هاذم اللذات (Perbanyaklah mengingat pemutus keenakan duniawi).

Selanjutnya, berkaitan dengan kehidupan di akhirat, ada dua hal utama yang harus selalu menjadi peringatan bagi kita. Pertama, bahwa hidup di dunia ini teramat sangat sementara, dan hidup di akhirat itu tiada batasnya. Andaikan saja kita dikaruniai umur panjang sampai 100 tahun, maka sebenarnya itu hanyalah sepersepuluh hari akhirat. Sebab 1 hari di akhirat sama dengan 1000 tahun di dunia. Ini didasarkan pada ayat ke-7 surat As-Sajdah yang berarti:

Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadaNYA dalam satu hari yang kadarnya seribu tahun menurut perhitunganmu.

Jadi, secara matematis masa 100 tahun di dunia = 2 jam 24 menit (menurut perhitungan akhirat). Lebih detil lagi, 1 jam akhirat = 41,66 tahun, 1 menit = sekitar 255 hari, dan 1 detik = 4,25 hari.

Kedua, bahwa semua perbuatan yang kita lakukan di dunia terekam oleh tubuh kita. Kita harus tahu bahwa agama kita tidak mengajarkan apa yang sering diungkapkan orang “surgo nunut neroko katut” (ke surga numpang, ke neraka ikut). Karena yang benar adalah, orang masuk surga karena amal baiknya, dan yang masuk neraka karena kesalahannya sendiri. Sehingga ada sebuah ilustrasi (penggambaran) di dalam al-Quran surat al-Anam ayat 94. Seolah-olah ketika nanti di hari Kiamat dan kita berbondong-bondong menuju pengadilan Allah, terpampang sebuah sepanduk besar yang artinya:

Dan sungguh kalian telah datang kepada kami sendiri-sendiri sebagaimana Kami ciptakan kalian pada mulanya. Dan kalian tinggalkan di dunia apa yang telah Kami karuniakan pada kalian. dan Kami tiada melihat bersama kalian pemberi syafa’at yang kalian anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu. Sungguh telah terputus hubungan-hubungan di antara kalian dan lenyaplah apa yang dahulu (di dunia) kalian anggap (sebagai sekutu Allah).

Kita lahir di dunia dari dua garba ibu sebagai pribadi-pribadi. Tetapi kemudian kita dituntut untuk hidup yang baik. Dan kebaikan kita di dunia ini selalu diukur secara sosial. Perbuatan baik adalah perbuatan baik dalam konteks sosial. Itulah makanya manusia disebut makhluk sosial. Makhluk yang harus selalu memikirkan sesamanya. Seperti dilambangkan dalam ucapan terakhir setiap kali kita salat, yaitu assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh (semoga keselamatan dan keberkahan dari Allah senantiasa tercurah untuk kalian) sambil menengok ke kanan dan kiri. Seakan ini adalah peringatan dari Allah SWT, “Kalau kamu sudah melaksanakan salat untuk mengingatku, maka sekarang buktikan bahwa kamu mempunyai tekad baik untuk memperhatikan sesama makhluk di sekitarmu. Tengoklah kanan-kirimu karena masih banyak yang membutuhkan bantuan.”

Jadi kita menjadi makhluk sosial di dunia ini. Tapi ketika kita mati nanti, dan memasuki alam kubur, kita menjadi makhluk pribadi kembali. Seluruh perbuata kita di dunia, baik dan buruk, hanya kita sendiri yang menanggung. Allah telah memperingatkan dalam surat Luqman ayat 33 yang artinya:

Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar. Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia menipu kalian, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kalian.

Pengadilan Allah sama sekali tidak menerima tebusan. Tebusan (عدل) dalam sistem hukum negara kita tidak dikenal. Makanya orang yang sedang menjalani hukuman di penjara, kalau dia mau keluar untuk sementara dia harus menyuap petugas. Istilahnya menyuap tidak menebus. Tapi di negara Inggris, sistem hukumnya mengakui adanya tebusan, atau dikenal dengan istilah bail. Di akhirat kelak, sama sekali tidak ada tebusan apalagi suap. Semuanya harus berhadapan dengan Allah sendiri-sendiri. Praktek pengadilan Ilahi di hari akhirat kelak telah dijelaskan dengan gamblang dalam surat Yasin ayat 65 yang artinya:

Pada hari itu Kami bungkam mulut-mulut mereka; dan berkatalah kepada kami tangan mereka, sedankan kaki-kaki mereka memberikan kesaksian atas apa yang telah mereka kerjakan di dunia.

Jadi, badan kita ini akan menjadi saksi. Jika mulut mencoba mengingkari suatu tuduhan dalam pengadilan Allah nanti, maka yang akan membantah adalah tangan kita sendiri, dan kaki kita akan menjadi saksi. Ini adalah peringatan yang sangat kuat yang harus selalu kita renungkan.

Secara ilmiah kita bisa mengatakan bahwa badan kita ini memang bisa menjadi saksi dari seluruh perbuatan kita. Sebuah teori mengatakan bahwa sebenarnya segala kejadian di alam raya ini tidak ada yang hilang tanpa terekam. Kejadian-kejadian itu terekam di angkasa juga di dalam diri kita sendiri. Sebagai contoh dari proses perekaman ini adalah fungsi DNA (deoxyribonucleic acid) dan gen. DNA dan gen berfungsi sebagai perekam semua bentuk dan karakter/watak kita. DNA terdapat di dalam gen, gen ada di dalam kromosom, dan kromosom terdapat di dalam sel. Dan perlu kita tahu bahwa semua makhluk hidup memiliki sel. Baik DNA, gen, kromosom, dan sel, semuanya adalah benda-benda mikroskopis (yang hanya bisa dilihat dengan mikroskop). Tetapi justru di dalam DNA itulah terekam seluruh informasi mengenai diri kita. Apakah rambut kita ikal atau lurus, hidung kita pesek atau mancung, watak kita penggembira atau gampang sedih, watak kita supel atau tertutup, semuanya ada di dalam benda-benda yang tak terlihat oleh mata telanjang kita.

Oleh karenanya, jika al-Quran mengatakan bahwa badan kita menjadi perekam dari seluruh perbuatan kita, adalah suatu hal yang benar adanya. Karena di dalam tubuh kita ini terdapat milyaran DNA dan gen. Dan semuanya itu kelak akan berbicara pada Allah SWT melalui tangan dan kaki kita seperti dilukiskan di dalam surat Yasin ayat 65 tsb.

Maka dari itu, semua ini harus menjadi peringatan bagi kita. Hidup di dunia hanya satu kali. Setiap kejadian yang kita alami hanya terjadi sekali. Bahkan setiap detik, menit, dan jam, tidak mungkin terulang lagi. Maka hendaknya kita terus berupaya meningkatkan kulaitas hidup kita secara serius. Demikian semoga bermanfaat.


Sahabats…

Agar kita lebih berhati-hati dalam berperilaku sehari-hari, marilah kita renungkan firman-Nya tentang Persaksian Anggota Badan terhadap Segala perilaku kita di dunia.

Selamat Berefleksi diri…

arab 17 ayat 36

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengadilan 1pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (TQS.17:36)

arab 36 ayat 65

“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (TQS.36:65)

arab 41 ayat 20

“Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (TQS.41:20)

arab 41 ayat 21

“Dan mereka berkata kepada kulit mereka: “Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?” Kulit mereka menjawab: “Allah yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan Dia-lah yang menciptakan kamu pada kali yang pertama dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.”(TQS.41:21)

arab 41 ayat 22

“Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan.”(TQS.41:22)[]

Thursday, June 2, 2011

7 Anggota yang wajib kita jaga

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg7MRfkb1LwMyD2nRPt-6ukvja9uO5BwzwLPyu-a0owjn6NtEHKQldrZeFZusyox3uDUGdUyrjUwZ21ntFmwzHy3_35dfe8Y5hQbKQUug5gMwX9H7Nc5MOeOlfdeQsDlOpFUvS5xsIKcaKh/s1600/3105_imgcache.jpg

Kitab Penawar Bagi Hati

  1. Ilmu Tasawuf itu adalah satu ilmu bagi mengenal segala kelakuan hati samada ia berkelakuan dengan akhlak yang terpuji seperti merendah diri dan sabar atau kelakuan yang dicela seperti sifat dengki dan membesarkan diri.
  1. Faedah Ilmu Tasawuf ini adalah dapat mengosongkan hati melainkan untuk Allah dan dapat pula menghiasinya dengan kecintaan kepada Tuhan sekalian alam.
  1. Hati menjadi pengantar bagi menterjemahkan kelakuan daripada seseorang itu.
  1. Hukumnya adalah wajib bagi mereka yang berakal dan sudah sampai umur (akil baligh).
  1. Al-Quran dan hadis Rasulullah SAW menjadi sumber rujukan.
  1. Ia dipanggil Ilmu Tasawuf.
Maksud Ilmu Tasawuf adalah suatu amalan bagi membersihkan anggota yang zahir daripada segala perbuatan yang keji, supaya dibersihkan juga hati daripada segala sifat yang tercela. Anggota yang perlu dibersihkan itu ada tujuh semuanya iaitu:
  1. Mata.
  2. Telinga.
  3. Lidah.
  4. Perut.
  5. Kemaluan.
  6. Tangan.
  7. Kaki.
Dan perlu diingat dalam hati Allah sentiasa memberikan kepada kita kenikmatan yang besar iaitu segala anggota yang wajib dipelihara dan disyukuri. Jika tidak dijaga semuanya, ia akan menjadi saksi kepada perbuatan dosa kita di Hari Kiamat sebagaimana yang diterangkan dalam al-Quran bermaksud:
“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (Surah Yasin, ayat 65)
Ertinya manusia ditegah daripada bercakap dengan mulut pada Hari Kiamat nanti. Allah kemudian mengarahkan setiap anggota badan menjadi saksi kepada apa yang dilakukan oleh tuan mereka di dunia dahulu. Maka setiap anggota badan tersebut bertutur melaporkan setiap kejahatan yang dilakukan semasa di dunia dan Allah menyatakan dalam al-Quran yang bermaksud:
“Kamu sekali-sekali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu kepadamu bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan.” (Surah Fussilat, ayat 22)
Maka di sini saya akan menerangkan ketujuh-ketujuh fasal yang berkaitan dengan anggota badan yang tujuh tersebut kerana ketujuh-tujuh anggota tersebut tidak pernah terpisah daripada manusia pada masa dan tempat manapun.